Budaya Beragama
Agama adalah seperangkat keyakinan, aturan,
praktik berperilaku yang berasal dari Tuhan. Ia dihadirkan Tuhan di muka bumi
agar manusia memiliki jalan yang selamat dalam menjalani kehidupan di dunia
menuju kehidupan yang abadi. Agama sendiri (baca: Islam) dirancang Tuhan sesuai
dengan fitrah manusia (QS Al A`raf: 172). Dengan beragama secara benar, manusia
akan berkembang menjadi pribadi yang paripurna.
Seorang penganut agama yang baik adalah seseorang yang
meletakkan penyerahan diri kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting dalam
kehidupannya. Mereka memiliki serangkaian keyakinan berkaitan dengan Tuhan,
hal-hal gaib lainnya (malaikat, hari akhir, takdir), kitab suci, dan
sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka berperilaku terhadap sesama
manusia, tumbuhan, binatang dan seluruh semesta ini sesuai ajaran agamanya.
Mereka pun melakukan ibadah sebagaimana keyakinan agamanya itu. Motivasi yang
terpenting yang mereka miliki adalah keinginan untuk menyesuaikan diri dengan
perintah Tuhan sebagaimana yang ada dalam agama. Gordon W. Allport, seorang
ahli psikologi, menyebut orang yang beragama dengan motivasi demikian dengan
istilah orientasi agama yang bersifat instrinsik.
Budaya Beragama..
Suatu
agama memiliki serangkaian cara menyembah Tuhan yang bersifat baku. Dalam
perkembangan riil di masyarakat, akan muncul variasi dalam mengekspresikan kehidupan
beragama. Saya menyebut ekspresi keberagamaan itu dengan istilah budaya
beragama. Sebagaimana budaya pada umumnya, pengertian budaya beragama juga
menyangkut seperangkat keyakinan, praktik ritual, perilaku terhadap sesama
manusia dan makhluk. Yang namanya budaya, tentu ia merupakan hasil kreasi
manusia. Hasil kreasi manusia itu disosialisasikan, dipraktikkan, dan akhirnya
terbentuk kebiasaan bersama.
Untuk
menggambarkan budaya beragama dan bedanya dengan agama akan saya sampaikan
contoh tentang aktivitas pujian. Dalam ajaran agama, diperintahkan
agar dikumandangkan adzan dan iqamah saat memanggil umat
beragama (Islam) shalat berjamaah di masjid atau mushalla. Aktivitas adzan
dan iqamah adalah aktivitas yang dicontohkan Nabi Muhammad. Karenanya,
ia adalah ajaran agama (Islam).
Orang-orang
Nahdhatul Ulama (NU) mengembangkan aturan baku itu dengan membuat budaya yang
disebut dengan istilah pujian. Pujian bisa berisi shalawat Nabi,
shalawat nariyah, lagu ilir-ilir Sunan Kalijaga, 20 sifat wajib Alloh,
dan sejenisnya yang dilagukan di antara adzan dan iqamah.
Sementara orang-orang Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) tidak
menyuarakan apapun di antara adzan dan iqamah. Pujian adalah
contoh budaya beragama. Sementara adzan dan iqamah adalah ajaran agama.
Demi Keberagamaan yang Lebih Baik..
Di
kalangan Muslim di Indonesia, kelompok-kelompok keagamaan mengembangkan
perilaku beragama dengan menekankan kepada hal-hal tertentu. Pembudayaan
hal-hal tertentu didasari keyakinan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan
kualitas keberagamaan mereka.
Setelah
shalat, ada perbedaan kebiasaan antara orang-orang NU dan Muhammadiyah. Kedua
jamaah ini sama-sama menganjurkan umatnya untuk beristighfar dan berdzikir
kepada Allah. Ini untuk mencontoh Nabi Muhammad yang setiap hari beristighfar
100 kali. Karenanya, beristighfar dan berdzikir adalah ajaran agama. Dalam
pelaksanaannya, orang Muhammadiyah lebih suka melakukannya sendiri-sendiri.
Sementara orang-orang NU lebih suka melakukannya secara bersama-sama dalam
bentuk wirid bersama. Apa yang mereka lakukan didasari oleh keyakinan (budaya
beragama) bahwa dengan cara itulah mereka akan meningkat kualitas
keberagamaannya.
Kadang-kadang
budaya itu terbentuk melalui suatu proses yang belum tentu direncanakan. Orang-orang
NU yang umumnya memiliki tradisi membaca al-Qur’an dengan sangat baik. Kalau
shalat, biasanya mereka dipimpin oleh imam shalat yang hampir dapat dipastikan
mampu membaca al-Qur’an dengan fasikh (terbaca secara sempurna).
Sayangnya kadang-kadang barisan pada makmum (yang mengikuti) tidak
tertata dengan baik. Di samping itu, kebiasaan sebagian orang NU untuk mengajak
atau membiarkan anak-anak balita ke masjid, menjadikan suasana shalat
kadang-kadang ramai dengan suara atau perilaku berisik anak-anak. Hal ini
berbeda dengan orang-orang Muhammadiyah yang memiliki jamaah orang terpelajar.
Saat shalat umumnya mereka memiliki barisan (shaff) dalam shalat
jamaah yang sangat rapi. Seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang sudah
almarhum, Nurcholish Madjid, pernah membuat joke (guyonan) mengenai
masalah ini. Kalau ada jamaah shalat dengan imam yang membaca al-Qur’an dengan
sangat baik namun makmum (yang mengikuti) kurang berbaris secara rapat
dan rapi, berarti itu jamaah NU. Bila imamnya membaca al-Qur’an dengan bacaan
yang standar namun barisannya sangat rapi, maka itu adalah jamaah shalat
Muhammadiyah.
Budaya Beragama yang Kontroversial..
Sebagian
besar budaya beragama yang dikembangkan oleh umat beragama (baca: Islam)
mengacu kepada ajaran agama yang baku yang bersumber al-Qur’an, al-Hadits, dan
penafsiran para ulama salaf (kuno) atas al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam
kehidupan beragama, umat beragama kadang berhadapan dengan situasi-situasi yang
khas. Keadaan ini kadang memunculkan keharusan ijtihad (berpikir yang
sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas beragama) di kalangan sementara
ulama. Dengan ijtihad itu mereka mengembangkan budaya beragama yang khas.
Budaya beragama ini kadang “dipandang” keluar dari jalur ajaran agama. Contoh
yang paling terkenal adalah Ahmadiyah. Mereka mengembangkan keyakinan yang
dinilai oleh jumhur (kesepakatan) ulama menyimpang. Dalam keyakinan
ulama sebagaimana ditegaskan oleh ayat suci al-Qur’an, nabi terakhir (khatam
al-anbiya’) adalah Muhammad SAW.
Berbeda
dengan hal di atas, ulama Ahmadiyah mempercayai bahwa masih ada nabi setelah
Muhammad, yaitu Ghulam Ishaq Khan. Keyakinan ini menjadikan mereka dipandang
menyimpang dalam beragama. Karena dipandang sudah keluar dari jalur ajaran baku
agama, maka Dien Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) mengusulkan agar orang
Ahmadiyah tidak menyebut diri beragama Islam, tapi beragama Ahmadiyah. Usulan
Dien ini mengacu pada posisi yang diambil pemerintah Pakistan, tempat Ahmadiyah
dilahirkan dan berkembang. Di sana, agama Ahmadiyah berdiri sendiri dan
terpisah dari agama Islam.
Contoh
yang lain adalah praktik beragama di Nusa Tenggara Barat. Sekelompok umat Islam
di daerah tersebut menjalankan shalat wajib yang berbeda dibanding yang
diajarkan Nabi Muhammad. Ajaran Nabi Muhammad berupa shalat lima waktu dalam
sehari mereka ubah menjadi shalat wajib sebanyak tiga kali. Shalat dhuhur dan
ashar digabung jadi satu. Maghrib dan isya’ digabung jadi satu. Shalat shubuh
dilakukan sebagaimana umumnya. Tentu apa yang mereka lakukan sudah keluar dari
jalur agama. Mengapa demikian?
Ternyata
pemeluk agama di daerah tersebut kesulitan untuk mendapatkan air untuk
berwudhu. Di satu sisi ingin melakukan apa yang diperintahkan agama (yaitu
shalat lima waktu). Di sisi lain mereka mencoba mengatasi masalah kesulitan air
dengan “menyederhanakan” cara beribadahnya. Namun, dalam Islam, sesungguhnya
shalat lima waktu adalah mutlak, kewajiban utama seorang Muslim. Bila ingin
melakukan ajaran agama, mereka harus melakukannya sesuai dengan cara darurat
yang diajarkan ajaran agama, yaitu dengan tayammum. Tayammum
adalah melakukan aktivitas pengganti wudhu tanpa air tapi menggunakan debu.
Kontroversi
yang dilakukan saudara-saudara kita di Nusa Tenggara Barat ternyata juga
dilakukan di Jawa Timur. Seorang ustadz bernama Yusman Roy pernah mengajarkan
shalat dengan berbahasa Indonesia. Apa yang dilakukannya dimaksudkan agar
orang-orang mengerti apa yang diucapkannya dalam shalat. Kita dapat mengerti
alasan dari sang ustadz.. Namun, Nabi Muhammad memerintahkan agar orang-orang
Islam shalat sebagaimana shalat-nya Nabi, yaitu menggunakan bahasa Arab.
Mengapa berbahasa Arab, tidak lain agar setiap Muslim belajar bahasa agamanya.
Kalau tidak dapat memahami seluruh ajaran agama, sekurang-kurangnya dapat
memahami arti dan makna bahasa Arab yang ada dalam rangkaian ibadah shalat.
Penggunaan bahasa Arab memotivasi Muslim untuk lebih akrab dengan agamanya.
Salah
satu budaya beragama yang paling menyimpang adalah praktik yang memperkenankan
seseorang mengambil hak milik orang lain. Ini sebenarnya lebih tepat disebut
“budaya anti agama”. Kelompok agama yang belum dapat penulis sebutkan namanya
ini mempercayai prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Dalam rangka menegakkan
kebenaran yang mereka percayai dari Tuhan, mereka membutuhkan dana perjuangan.
Dana itu dapat diambil dari apa yang dimiliki orang-orang lain, yang mereka
ambil dengan jalan mencurinya. Dalam keseharian, mereka sering mencuri handphone,
laptop, jam tangan, dan sebagainya. Ini mungkin salah satu budaya “teraneh”,
dan kadang sulit bagi kita untuk mengerti: ada saja pengikutnya.
Sikap terhadap Budaya yang Kontroversial..
Menyikapi
adanya “budaya beragama” pada umumnya, saran yang terbaik adalah memiliki ilmu
yang lebih kaya dan lebih mendalam tentang ajaran standar agama. Saat
orang-orang NU menghidupkan budaya memberi talqin kepada jenazah yang
baru saja dikubur, kita dapat mempelajari ajaran agama tentang tata cara
menguburkan jenazah. Dengan memahami ajaran agama yang baku, kita akan tahu
mana yang memang berasal dari Tuhan dan utusannya (para nabi) dan mana yang
merupakan budaya beragama. Saya rasa setiap agama menganjurkan pengikutnya
untuk memiliki ilmu agama dalam tingkat yang advanced. Saya percaya
dengan memiliki ilmu agama yang memadai, kita akan kaya informasi dan karenanya
dapat memahami dan memaklumi (baca: menoleransi) bila ada kelompok lain yang
mengembangkan budaya tertentu. Dengan memiliki pengetahuan standar dalam agama,
kita tidak mudah tergiur saat digoda untuk bergabung dengan kelompok-kelompok
agama yang boleh jadi merugikan kita.
Sementara
itu, berkaitan dengan sikap terhadap budaya beragama “yang menyimpang”, menurut
saya kita patut berhati-hati. Saya dapat memahami kekhawatiran sebagian besar
ulama dan umat tentang ajaran-ajaran yang nyleneh tersebut. Mereka khawatir
keyakinan dan praktik kontroversial tersebut menyebabkan umat mereka menjadi
kelompok yang sesat. Dengan kesesatan itu, mereka bukannya masuk surga, tapi
justru sebaliknya: menjadi penghuni neraka. Tapi apa kekhawatiran itu memang
proporsional?
Kalau
seseorang mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang disayangi, itu adalah
sesuatu yang wajar. Dengan kekhawatiran itu kita berharap para umat lebih
banyak belajar tentang isi ajaran agamanya dan ulama memperbesar usaha untuk
meningkatkan pemahaman umat terhadap agama. Usaha semacam ini pasti positif
karena dapat menjadikan seseorang lebih mengenal ajaran agamanya.
Selanjutnya,
kita tidak berharap kekhawatiran semacam itu diekspresikan dalam bentuk
vandalisme. Reaksi yang sangat fatalistik berupa pengrusakan rumah ibadah dan
perkantoran, atau penyiksaan fisik dan psikologis atas diri meraka yang kadang
kita temui tentu tidak kita kehendaki. Vandalisme tentu bukan cara yang makruf
(baik). Kalau ada “budaya beragama” yang menyimpang dari agama, sikap yang
terbaik adalah bersikap kritis. Dalam hal ini adalah membandingkan budaya
beragama tersebut dengan ajaran agama yang standar. Bila menyimpang jauh, maka
itu berarti budaya beragama yang sesat. Kepada umat pada umumnya, kita perlu
memberitahukan bagian-bagian mana yang menyesatkan dan perlunya kehati-hatian
diri setiap umat atas persuasi kelompok tertentu.
Kesimpulan :
Dalam dunia ini banyak sekali
agama-agama yang tersebar, beraneka ragam agama seperti, Islam, kristen, budha,
hindu dll. Di Negara Indonesia agama islam lebih banyak mendominasi
penduduknya, sehingga Negara Indonesia adalah Negara muslim. Dalam menjalankan
keagamaan, biasanya para penganut agama akan melakukkan sembahyang (pujian)
untuk sang pencipta.
Dalam beragama kitra harus yakin
kepada agama yang kita anut, karena banyak kontroversi-kontroversi dalam
beragama yang. Banyak agama-agama baru yang mumcul akhir-akhir ini dan itu
sangat menyimpang bagi masyarakat dunia. Dan kita sebagai penganut aga yang sah
di akui pemerintah, janganlah coba untuk ikut-ikut ajaran sesat tersebut.
Salah satu budaya beragama yang
paling menyimpang adalah praktik yang memperkenankan seseorang mengambil hak
milik orang lain. Ini sebenarnya lebih tepat disebut “budaya anti agama”.
Kelompok agama yang belum dapat penulis sebutkan namanya ini mempercayai
prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Dalam rangka menegakkan kebenaran yang
mereka percayai dari Tuhan, mereka membutuhkan dana perjuangan. Dana itu dapat
diambil dari apa yang dimiliki orang-orang lain, yang mereka ambil dengan jalan
mencurinya. Dalam keseharian, mereka sering mencuri handphone, laptop,
jam tangan, dan sebagainya. Ini mungkin salah satu budaya “teraneh”, dan kadang
sulit bagi kita untuk mengerti: ada saja pengikutnya.
Untuk menyikapi budaya beragama
yang kontroversial kita sebagai masyarakat tidak perlu bersikap anarki. Akan
adapihak-pihak yang berwajib untuk menangani masalah itu semua. Kita harus
yakin dan berpegangan teguh dengan agama yang kita anut, tidak perlu bersikap
anarki seperti merusak tempat ibadah dan berunjuk rasa, karena di balik
perilaku beragama yang menyimpang pasti aka nada balasan dari sang pencipta
Yang Maha Esa.