Rabu, 30 Mei 2012

Budaya Beragama


Budaya Beragama


 Agama adalah seperangkat keyakinan, aturan, praktik berperilaku yang berasal dari Tuhan. Ia dihadirkan Tuhan di muka bumi agar manusia memiliki jalan yang selamat dalam menjalani kehidupan di dunia menuju kehidupan yang abadi. Agama sendiri (baca: Islam) dirancang Tuhan sesuai dengan fitrah manusia (QS Al A`raf: 172). Dengan beragama secara benar, manusia akan berkembang menjadi pribadi yang paripurna.
Seorang penganut agama yang baik adalah seseorang yang meletakkan penyerahan diri kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting dalam kehidupannya. Mereka memiliki serangkaian keyakinan berkaitan dengan Tuhan, hal-hal gaib lainnya (malaikat, hari akhir, takdir), kitab suci, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka berperilaku terhadap sesama manusia, tumbuhan, binatang dan seluruh semesta ini sesuai ajaran agamanya. Mereka pun melakukan ibadah sebagaimana keyakinan agamanya itu. Motivasi yang terpenting yang mereka miliki adalah keinginan untuk menyesuaikan diri dengan perintah Tuhan sebagaimana yang ada dalam agama. Gordon W. Allport, seorang ahli psikologi, menyebut orang yang beragama dengan motivasi demikian dengan istilah orientasi agama yang bersifat instrinsik.

Budaya Beragama..

            Suatu agama memiliki serangkaian cara menyembah Tuhan yang bersifat baku. Dalam perkembangan riil di masyarakat, akan muncul variasi dalam mengekspresikan kehidupan beragama. Saya menyebut ekspresi keberagamaan itu dengan istilah budaya beragama. Sebagaimana budaya pada umumnya, pengertian budaya beragama juga menyangkut seperangkat keyakinan, praktik ritual, perilaku terhadap sesama manusia dan makhluk. Yang namanya budaya, tentu ia merupakan hasil kreasi manusia. Hasil kreasi manusia itu disosialisasikan, dipraktikkan, dan akhirnya terbentuk kebiasaan bersama.

            Untuk menggambarkan budaya beragama dan bedanya dengan agama akan saya sampaikan contoh tentang aktivitas pujian. Dalam ajaran agama, diperintahkan agar dikumandangkan adzan dan iqamah saat memanggil umat beragama (Islam) shalat berjamaah di masjid atau mushalla. Aktivitas adzan dan iqamah adalah aktivitas yang dicontohkan Nabi Muhammad. Karenanya, ia adalah ajaran agama (Islam).

            Orang-orang Nahdhatul Ulama (NU) mengembangkan aturan baku itu dengan membuat budaya yang disebut dengan istilah pujian. Pujian bisa berisi shalawat Nabi, shalawat nariyah, lagu ilir-ilir Sunan Kalijaga, 20 sifat wajib Alloh, dan sejenisnya yang dilagukan di antara adzan dan iqamah. Sementara orang-orang Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) tidak menyuarakan apapun di antara adzan dan iqamah. Pujian adalah contoh budaya beragama. Sementara adzan dan iqamah adalah ajaran agama.


Demi Keberagamaan yang Lebih Baik..

            Di kalangan Muslim di Indonesia, kelompok-kelompok keagamaan mengembangkan perilaku beragama dengan menekankan kepada hal-hal tertentu. Pembudayaan hal-hal tertentu didasari keyakinan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan kualitas keberagamaan mereka.

            Setelah shalat, ada perbedaan kebiasaan antara orang-orang NU dan Muhammadiyah. Kedua jamaah ini sama-sama menganjurkan umatnya untuk beristighfar dan berdzikir kepada Allah. Ini untuk mencontoh Nabi Muhammad yang setiap hari beristighfar 100 kali. Karenanya, beristighfar dan berdzikir adalah ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, orang Muhammadiyah lebih suka melakukannya sendiri-sendiri. Sementara orang-orang NU lebih suka melakukannya secara bersama-sama dalam bentuk wirid bersama. Apa yang mereka lakukan didasari oleh keyakinan (budaya beragama) bahwa dengan cara itulah mereka akan meningkat kualitas keberagamaannya.

            Kadang-kadang budaya itu terbentuk melalui suatu proses yang belum tentu direncanakan. Orang-orang NU yang umumnya memiliki tradisi membaca al-Qur’an dengan sangat baik. Kalau shalat, biasanya mereka dipimpin oleh imam shalat yang hampir dapat dipastikan mampu membaca al-Qur’an dengan fasikh (terbaca secara sempurna). Sayangnya kadang-kadang barisan pada makmum (yang mengikuti) tidak tertata dengan baik. Di samping itu, kebiasaan sebagian orang NU untuk mengajak atau membiarkan anak-anak balita ke masjid, menjadikan suasana shalat kadang-kadang ramai dengan suara atau perilaku berisik anak-anak. Hal ini berbeda dengan orang-orang Muhammadiyah yang memiliki jamaah orang terpelajar. Saat shalat umumnya mereka memiliki barisan (shaff) dalam shalat jamaah yang sangat rapi. Seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang sudah almarhum, Nurcholish Madjid, pernah membuat joke (guyonan) mengenai masalah ini. Kalau ada jamaah shalat dengan imam yang membaca al-Qur’an dengan sangat baik namun makmum (yang mengikuti) kurang berbaris secara rapat dan rapi, berarti itu jamaah NU. Bila imamnya membaca al-Qur’an dengan bacaan yang standar namun barisannya sangat rapi, maka itu adalah jamaah shalat Muhammadiyah.


Budaya Beragama yang Kontroversial..

            Sebagian besar budaya beragama yang dikembangkan oleh umat beragama (baca: Islam) mengacu kepada ajaran agama yang baku yang bersumber al-Qur’an, al-Hadits, dan penafsiran para ulama salaf (kuno) atas al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam kehidupan beragama, umat beragama kadang berhadapan dengan situasi-situasi yang khas. Keadaan ini kadang memunculkan keharusan ijtihad (berpikir yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas beragama) di kalangan sementara ulama. Dengan ijtihad itu mereka mengembangkan budaya beragama yang khas. Budaya beragama ini kadang “dipandang” keluar dari jalur ajaran agama. Contoh yang paling terkenal adalah Ahmadiyah. Mereka mengembangkan keyakinan yang dinilai oleh jumhur (kesepakatan) ulama menyimpang. Dalam keyakinan ulama sebagaimana ditegaskan oleh ayat suci al-Qur’an, nabi terakhir (khatam al-anbiya’) adalah Muhammad SAW.

            Berbeda dengan hal di atas, ulama Ahmadiyah mempercayai bahwa masih ada nabi setelah Muhammad, yaitu Ghulam Ishaq Khan. Keyakinan ini menjadikan mereka dipandang menyimpang dalam beragama. Karena dipandang sudah keluar dari jalur ajaran baku agama, maka Dien Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) mengusulkan agar orang Ahmadiyah tidak menyebut diri beragama Islam, tapi beragama Ahmadiyah. Usulan Dien ini mengacu pada posisi yang diambil pemerintah Pakistan, tempat Ahmadiyah dilahirkan dan berkembang. Di sana, agama Ahmadiyah berdiri sendiri dan terpisah dari agama Islam.

            Contoh yang lain adalah praktik beragama di Nusa Tenggara Barat. Sekelompok umat Islam di daerah tersebut menjalankan shalat wajib yang berbeda dibanding yang diajarkan Nabi Muhammad. Ajaran Nabi Muhammad berupa shalat lima waktu dalam sehari mereka ubah menjadi shalat wajib sebanyak tiga kali. Shalat dhuhur dan ashar digabung jadi satu. Maghrib dan isya’ digabung jadi satu. Shalat shubuh dilakukan sebagaimana umumnya. Tentu apa yang mereka lakukan sudah keluar dari jalur agama. Mengapa demikian?

            Ternyata pemeluk agama di daerah tersebut kesulitan untuk mendapatkan air untuk berwudhu. Di satu sisi ingin melakukan apa yang diperintahkan agama (yaitu shalat lima waktu). Di sisi lain mereka mencoba mengatasi masalah kesulitan air dengan “menyederhanakan” cara beribadahnya. Namun, dalam Islam, sesungguhnya shalat lima waktu adalah mutlak, kewajiban utama seorang Muslim. Bila ingin melakukan ajaran agama, mereka harus melakukannya sesuai dengan cara darurat yang diajarkan ajaran agama, yaitu dengan tayammum. Tayammum adalah melakukan aktivitas pengganti wudhu tanpa air tapi menggunakan debu.

            Kontroversi yang dilakukan saudara-saudara kita di Nusa Tenggara Barat ternyata juga dilakukan di Jawa Timur. Seorang ustadz bernama Yusman Roy pernah mengajarkan shalat dengan berbahasa Indonesia. Apa yang dilakukannya dimaksudkan agar orang-orang mengerti apa yang diucapkannya dalam shalat. Kita dapat mengerti alasan dari sang ustadz.. Namun, Nabi Muhammad memerintahkan agar orang-orang Islam shalat sebagaimana shalat-nya Nabi, yaitu menggunakan bahasa Arab. Mengapa berbahasa Arab, tidak lain agar setiap Muslim belajar bahasa agamanya. Kalau tidak dapat memahami seluruh ajaran agama, sekurang-kurangnya dapat memahami arti dan makna bahasa Arab yang ada dalam rangkaian ibadah shalat. Penggunaan bahasa Arab memotivasi Muslim untuk lebih akrab dengan agamanya.

            Salah satu budaya beragama yang paling menyimpang adalah praktik yang memperkenankan seseorang mengambil hak milik orang lain. Ini sebenarnya lebih tepat disebut “budaya anti agama”. Kelompok agama yang belum dapat penulis sebutkan namanya ini mempercayai prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Dalam rangka menegakkan kebenaran yang mereka percayai dari Tuhan, mereka membutuhkan dana perjuangan. Dana itu dapat diambil dari apa yang dimiliki orang-orang lain, yang mereka ambil dengan jalan mencurinya. Dalam keseharian, mereka sering mencuri handphone, laptop, jam tangan, dan sebagainya. Ini mungkin salah satu budaya “teraneh”, dan kadang sulit bagi kita untuk mengerti: ada saja pengikutnya.




Sikap terhadap Budaya yang Kontroversial..

            Menyikapi adanya “budaya beragama” pada umumnya, saran yang terbaik adalah memiliki ilmu yang lebih kaya dan lebih mendalam tentang ajaran standar agama. Saat orang-orang NU menghidupkan budaya memberi talqin kepada jenazah yang baru saja dikubur, kita dapat mempelajari ajaran agama tentang tata cara menguburkan jenazah. Dengan memahami ajaran agama yang baku, kita akan tahu mana yang memang berasal dari Tuhan dan utusannya (para nabi) dan mana yang merupakan budaya beragama. Saya rasa setiap agama menganjurkan pengikutnya untuk memiliki ilmu agama dalam tingkat yang advanced. Saya percaya dengan memiliki ilmu agama yang memadai, kita akan kaya informasi dan karenanya dapat memahami dan memaklumi (baca: menoleransi) bila ada kelompok lain yang mengembangkan budaya tertentu. Dengan memiliki pengetahuan standar dalam agama, kita tidak mudah tergiur saat digoda untuk bergabung dengan kelompok-kelompok agama yang boleh jadi merugikan kita.

            Sementara itu, berkaitan dengan sikap terhadap budaya beragama “yang menyimpang”, menurut saya kita patut berhati-hati. Saya dapat memahami kekhawatiran sebagian besar ulama dan umat tentang ajaran-ajaran yang nyleneh tersebut. Mereka khawatir keyakinan dan praktik kontroversial tersebut menyebabkan umat mereka menjadi kelompok yang sesat. Dengan kesesatan itu, mereka bukannya masuk surga, tapi justru sebaliknya: menjadi penghuni neraka. Tapi apa kekhawatiran itu memang proporsional?

            Kalau seseorang mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang disayangi, itu adalah sesuatu yang wajar. Dengan kekhawatiran itu kita berharap para umat lebih banyak belajar tentang isi ajaran agamanya dan ulama memperbesar usaha untuk meningkatkan pemahaman umat terhadap agama. Usaha semacam ini pasti positif karena dapat menjadikan seseorang lebih mengenal ajaran agamanya.

            Selanjutnya, kita tidak berharap kekhawatiran semacam itu diekspresikan dalam bentuk vandalisme. Reaksi yang sangat fatalistik berupa pengrusakan rumah ibadah dan perkantoran, atau penyiksaan fisik dan psikologis atas diri meraka yang kadang kita temui tentu tidak kita kehendaki. Vandalisme tentu bukan cara yang makruf (baik). Kalau ada “budaya beragama” yang menyimpang dari agama, sikap yang terbaik adalah bersikap kritis. Dalam hal ini adalah membandingkan budaya beragama tersebut dengan ajaran agama yang standar. Bila menyimpang jauh, maka itu berarti budaya beragama yang sesat. Kepada umat pada umumnya, kita perlu memberitahukan bagian-bagian mana yang menyesatkan dan perlunya kehati-hatian diri setiap umat atas persuasi kelompok tertentu.







Kesimpulan :

       Dalam dunia ini banyak sekali agama-agama yang tersebar, beraneka ragam agama seperti, Islam, kristen, budha, hindu dll. Di Negara Indonesia agama islam lebih banyak mendominasi penduduknya, sehingga Negara Indonesia adalah Negara muslim. Dalam menjalankan keagamaan, biasanya para penganut agama akan melakukkan sembahyang (pujian) untuk sang pencipta.
Dalam beragama kitra harus yakin kepada agama yang kita anut, karena banyak kontroversi-kontroversi dalam beragama yang. Banyak agama-agama baru yang mumcul akhir-akhir ini dan itu sangat menyimpang bagi masyarakat dunia. Dan kita sebagai penganut aga yang sah di akui pemerintah, janganlah coba untuk ikut-ikut ajaran sesat tersebut.
Salah satu budaya beragama yang paling menyimpang adalah praktik yang memperkenankan seseorang mengambil hak milik orang lain. Ini sebenarnya lebih tepat disebut “budaya anti agama”. Kelompok agama yang belum dapat penulis sebutkan namanya ini mempercayai prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Dalam rangka menegakkan kebenaran yang mereka percayai dari Tuhan, mereka membutuhkan dana perjuangan. Dana itu dapat diambil dari apa yang dimiliki orang-orang lain, yang mereka ambil dengan jalan mencurinya. Dalam keseharian, mereka sering mencuri handphone, laptop, jam tangan, dan sebagainya. Ini mungkin salah satu budaya “teraneh”, dan kadang sulit bagi kita untuk mengerti: ada saja pengikutnya.

Untuk menyikapi budaya beragama yang kontroversial kita sebagai masyarakat tidak perlu bersikap anarki. Akan adapihak-pihak yang berwajib untuk menangani masalah itu semua. Kita harus yakin dan berpegangan teguh dengan agama yang kita anut, tidak perlu bersikap anarki seperti merusak tempat ibadah dan berunjuk rasa, karena di balik perilaku beragama yang menyimpang pasti aka nada balasan dari sang pencipta Yang Maha Esa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar